Senin, 30 April 2012

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA


A.    PENGERTIAN AGAMA
Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebiasaan (etimologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah, karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikan. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba, misalnya berusaha mengumpulkan semua definisi yang pernah dibuat orang tentang agama, tak kurang dari 48 teori. Namun akhirnya ia berkesimpulan, bahwa usaha untuk membuat definisi agama itu tak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Peryataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.[1]
Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan, bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum ialah adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami arti agama, disamping adanya perbedaan juga dalam cara memahami serta penerimaan setiap agama terhadap seuatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki interprestasi diri yang berbeda dan keluasan interprestasi dari itu juga berbeda-beda.[2]
Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, hingga W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa tidak ada yang sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama, karena setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Disamping itu, tampak bahwa pada umumnya orang lebih condong kepada mengaku beragama, kendatipun ia tidak menjalankannya.[3]
Dari pengertian-pengertian tersebut, telah memberikan pandangan bahwa pengertian agama yang dikemukakan seorang ahli tidak ada yang lebih unggul dibandingkan dengan pengertian agama yang diberikan yang lainnya, sehingga tidak muncul anggapan lebih superior dan tertutup untuk menerima pendapat orang lain yang justeru akan merugikan.[4] Untuk itu berikut dijelaskan mengenai pengertian agama ditinjau dari segi bahasanya:
Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din ( الدّين ) dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun- temurun. Agama memang mempunyai sifat demikian. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntunan. Memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.[5]
Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan  menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan keputusan membawa pula kepada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan yang patuh akan mendapat balasan baik dari Tuhan. Yang tidak menjalankan kewajiban dan yang tidak patuh akan mendapat balasan tidak baik.[6]
Religi berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat asalnya ialah relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat ikatan antara roh manusia dengan Tuhan. Dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan.[7]
Inti-sari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindra.[8]
Oleh karena itu agama diberi definisi-definisi sebagai berikut :
1.      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2.      Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3.      Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4.      Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5.      Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6.      Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiaban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7.      Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8.      Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.[9]
Selanjutnya Taib Tahar Abdul Mu’in dalam bukunya Ilmu Kalam, mengemukakan definisi agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.[10]
Dari beberapa definisi diatas,  dapat diketahui bahwa agama mempunyai karakteristik yang menjadi ciri sebuah agama. Adapun karakteristik agama tersebut sebagai berikut:[11]
Pertama, kekuatan gaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat memohon pertolongan. Manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut dengan mematuhi perintah dan larangannya.
Kedua, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Tanpa adanya hubungan yang baik itu, manusia akan sengsara hidupnya di dunia dan di akhirat.
Ketiga, respons yang bersifat emosional dari manusia, baik dalam bentuk perasaan takut atau perasaan cinta. Selanjutnya respons itu mengambil bentuk pemujaan atau penyembahan dan tata cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat, paham adanya yang kudus (the sacred) dan suci, seperti kitab suci, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respons emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.[12]
Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama kebudayaan. Kedua aspek tujuannya, yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respons yang bersifat emosional dan adanya yang dianggap suci. Keempat aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain. Kelima aspek sumbernya, yaitu kitab suci.[13]

B.     KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan-alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.[14]
1.      Fitrah Manusia
Dalam bukunya berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali a.s. menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan  pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah kegamaan tersebut di atas, buat pertama kali ditegaskan dalam ajaran agama Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitrah manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini, mucul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inillah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu. Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang artinya:
 
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. al-Rum [30]: 30)
Adanya potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah ihsan yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan manusia. Dengan mengacu kepada informasi yang diberikan al-Qur’an, Musa Asy’ari dalam bukunya Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, samapai pada suatu kesimpulan bahwa manusia insan adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya, sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari cipataan-Nya. Lebih lanjut Musa Asy’ari mengatakan bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup, dan kemudian mati.
Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki manusia itu dapat pula dijumpai dalam ayat artinya sebagai berikut.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. al-A’raf [7]: 72)
Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk Nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau  Majusi.
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti tersebut kita mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya. Misalnya mereka mempertuhankan pada benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan. Kepercayaan demikian itu selanjutnya disebut agama dinamisme. Selanjutnya kekuatan misterius tersebut mereka ganti istilahnya dengan ruh atau jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan buruk dan kemudian mereka disebut agama animisme. Ruh dan jiwa itu selanjutnya mereka personifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya disebut agama politeisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi bertuhan. Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil bentuk bermacam-macam yang keadaannya serba relatif. Dalam keadaan demikian itulah para Nabi diutus kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang mereka cari itu adalah Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan dalam agama yang disampaikan para Nabi. Untuk itu, maka jika seseorang ingin mendapatkan keagamaan yang benar haruslah melalui bantuan para Nabi. Kepada mereka itu, para Nabi menginformsikan bahwa Tuhan yang menciptakan mereka dan wajib disembah adalah Allah. Dengan demikian sebutan Allah bagi Tuhan, bukan hasil khayalan manusia, dan bukan pula hasil seminar, penelitian dan sebagainya. Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan sendiri.
Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Einstein menyatkan adanya bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan agama. Demikian pula bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok manusia untuk berpegang teguh pada agama.
Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita mengakaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji pahama hulul dari al-Hallaj (858-922 M.) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut Lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut Nasut. Demikian pula pada diri Tuhanpun terdapat sifat Lahut dan Nasut. Sifat Lahut Tuhan mengacau pada zat-Nya, sedangkan sifat Nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Semesntara itu sifat Nasut manusia mengacu kepada unsur lahiriah dan fisik manusia, sedangkan sifat Lahut manusia mengacu pada unsur batiniah dan ilahiah. Jika manusia mampu meredam sifat Nasutnya maka yang nampak adalah sifat Lahut­nya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan antara Nasut Tuhan dengan Lahut manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.
Melalui uraian tersebut sampailah pada kesimpulan, bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan, dan pengembangan, dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya.
1.      Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain diungkapkan oleh kata al-nafs. Menurut Quraish  Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Misalnya disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. al-Syams [91]: 7-8)
Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Disini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut al-Qur’an dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaaskan bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.
Selnajutnya Quraish Shihab mengatakan, walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Sifat-sifat yang cenderung kepada keburukan yang ada pada manusia itu antara lain berlaku dzalim (aniaya), dalam keadaan susah payah (fi kabad), suka melampaui batas (anid), sombong(kubbar), inkar dan sebagainya. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs ini manusia harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama, dan di sinilah letaknya kebutuhan manusia terhadap agama.
Dalam literatur teologi Islam misalnya kita jumpai pandangan kaum Mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak menadahulukan pendapat akal dalam memperkuat argumentasinya daripada pendapat wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang dapat mengetahui yang baik dan buruk, tetapi tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui akal. Dalam hubungan inilah, maka kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilsh secara tidak langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.
2.      Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayaa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Misalnya dalam QS. al-Anfal[8]:36 menjelaskan:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.”
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunankan agar orang menngikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu maka upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini semakin menigkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.



KESIMPULAN
Secara bahasa agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun- temurun/ teks atau kitab suci/ tuntunan. Agama disebut juga dengan din  berasal dari bahasa Arab yang artinya undang-undang atau hukum/ menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Selain din agama disebut juga Religi berasal dari bahasa Latin artinya mengumpulkan, membaca/ mengikat.
 Sedangkan secara istilah agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respons emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.
Agama memiliki karakteristik sebagai berikut: Pertama, kekuatan gaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat memohon pertolongan. Kedua, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Ketiga, respons yang bersifat emosional dari manusia, baik dalam bentuk perasaan takut atau perasaan cinta. Selanjutnya respons itu mengambil bentuk pemujaan atau penyembahan dan tata cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. Keempat, paham adanya yang kudus dan suci, seperti kitab suci, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya.
Manusia membutuhkan terhadap agama dapat dilihat melalui hal-hal berikut: a) Fitrah manusia, fitrah tersebut adalah potensi dalam diri manusia untuk beragama. Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan, dan pengembangan, dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya. b) Kelemahan dan kekurangan manusia, adanya kekurang dan kelemahan ini membuat manusia membutuhkan suatu tuntunan yang benar dan melalui agama itulah tuntunan tersebut datang. c) Tantangan manusia, hal ini ditunjukkan dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam (nafsu dan setan) maupun dari luar dirinya (sesama manusia yang mengajak untuk berpaling dari Tuhan) .



[1] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 7-8.
[2] Ibid., 8.
[3] Ibid., 8-9.
[4] Ibid., 9.
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1985), 9.
[6] Ibid.
[7] Ibid.,10.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 14.
[11]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 63.
[12] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 15.
[13] Ibid., 15-16.
[14] Ibid., 16-25.

0 komentar: