A.
PENGERTIAN
AGAMA
Secara
sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebiasaan (etimologis)
dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut
kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut
istilah, karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan
subyektivitas dari orang yang mengartikan. Atas dasar ini, maka tidak
mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan
agama. James H. Leuba, misalnya berusaha mengumpulkan semua definisi yang
pernah dibuat orang tentang agama, tak kurang dari 48 teori. Namun akhirnya ia
berkesimpulan, bahwa usaha untuk membuat definisi agama itu tak ada gunanya,
karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. Selanjutnya Mukti Ali pernah
mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan
definisi selain dari kata agama. Peryataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama,
bahwa pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis
sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan
emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan
tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu
sulit didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh
tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.[1]
Senada
dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan, bahwa salah satu kesulitan
untuk berbicara mengenai agama secara umum ialah adanya perbedaan-perbedaan
dalam memahami arti agama, disamping adanya perbedaan juga dalam cara memahami
serta penerimaan setiap agama terhadap seuatu usaha memahami agama. Setiap
agama memiliki interprestasi diri yang berbeda dan keluasan interprestasi dari
itu juga berbeda-beda.[2]
Sampai
sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, hingga W.H.
Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat
mengatakan, bahwa tidak ada yang sukar daripada mencari kata-kata yang dapat
digunakan untuk membuat definisi agama, karena setiap orang akan merasakan
pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Disamping itu, tampak bahwa pada
umumnya orang lebih condong kepada mengaku beragama, kendatipun ia tidak
menjalankannya.[3]
Dari
pengertian-pengertian tersebut, telah memberikan pandangan bahwa pengertian
agama yang dikemukakan seorang ahli tidak ada yang lebih unggul dibandingkan
dengan pengertian agama yang diberikan yang lainnya, sehingga tidak muncul
anggapan lebih superior dan tertutup untuk menerima pendapat orang lain yang
justeru akan merugikan.[4] Untuk itu berikut
dijelaskan mengenai pengertian agama ditinjau dari segi bahasanya:
Dalam
masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din ( الدّين ) dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa
Eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata
itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak
pergi, tetap di tempat, diwarisi turun- temurun. Agama memang mempunyai sifat
demikian. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks
atau kitab suci. Dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya
dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntunan. Memang agama mengandung
ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.[5]
Din
dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau
hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan,
patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan
yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang
menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan
dengan menjalankan ajaran-ajaran agama.
Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan
oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan keputusan membawa
pula kepada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan yang patuh akan
mendapat balasan baik dari Tuhan. Yang tidak menjalankan kewajiban dan yang
tidak patuh akan mendapat balasan tidak baik.[6]
Religi
berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat
asalnya ialah relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama
memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi. Tetapi menurut pendapat lain kata
itu berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama
memang mempunyai sifat ikatan antara roh manusia dengan Tuhan. Dan agama lebih
lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan.[7]
Inti-sari
yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama
mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan
ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia
sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari
manusia. Satu kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindra.[8]
Oleh
karena itu agama diberi definisi-definisi sebagai berikut :
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan
kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang
menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang
mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan
yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang
menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct)
yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiaban
yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari
perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat
dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui seorang Rasul.[9]
Selanjutnya
Taib Tahar Abdul Mu’in dalam bukunya Ilmu Kalam, mengemukakan definisi
agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang
mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan
tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.[10]
Dari
beberapa definisi diatas, dapat
diketahui bahwa agama mempunyai karakteristik yang menjadi ciri sebuah agama.
Adapun karakteristik agama tersebut sebagai berikut:[11]
Pertama,
kekuatan gaib. Manusia merasa dirinya lemah dan
berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat memohon pertolongan. Manusia
merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut dengan
mematuhi perintah dan larangannya.
Kedua,
keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan
kebahagiaan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan
kekuatan gaib yang dimaksud. Tanpa adanya hubungan yang baik itu, manusia akan
sengsara hidupnya di dunia dan di akhirat.
Ketiga, respons yang bersifat emosional dari manusia, baik dalam bentuk
perasaan takut atau perasaan cinta. Selanjutnya respons itu mengambil bentuk
pemujaan atau penyembahan dan tata cara hidup tertentu bagi masyarakat yang
bersangkutan.
Keempat,
paham adanya yang kudus (the sacred) dan suci,
seperti kitab suci, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya.
Berdasarkan
uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran
yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab
suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan
tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan
kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respons emosional dan
keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang
baik dengan kekuatan gaib tersebut.[12]
Dari
kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam
agama. Pertama aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan
seperti agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama
ardli atau agama kebudayaan. Kedua aspek tujuannya, yaitu untuk
memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga
aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan
manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung
pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respons yang bersifat emosional
dan adanya yang dianggap suci. Keempat aspek pemasyarakatannya, yaitu
disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain.
Kelima aspek sumbernya, yaitu kitab suci.[13]
B.
KEBUTUHAN
MANUSIA TERHADAP AGAMA
Ada
beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan-alasan
tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.[14]
1. Fitrah Manusia
Dalam
bukunya berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada
Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali a.s.
menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian
yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk
memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan
oleh lidah, melainkan terukir dengan
pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di
atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Kenyataan
bahwa manusia memiliki fitrah kegamaan tersebut di atas, buat pertama kali
ditegaskan dalam ajaran agama Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitrah
manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa
akhir-akhir ini, mucul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya.
Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inillah yang melatarbelakangi
perlunya manusia pada agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang
menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan
fitrahnya itu. Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang artinya:
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. al-Rum [30]: 30)
Adanya
potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula
dianalisis dari istilah ihsan yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan
manusia. Dengan mengacu kepada informasi yang diberikan al-Qur’an, Musa Asy’ari
dalam bukunya Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, samapai pada
suatu kesimpulan bahwa manusia insan adalah manusia yang menerima
pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan
secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibandingkan
dengan ciptaan Tuhan lainnya, sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan
memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari cipataan-Nya. Lebih lanjut
Musa Asy’ari mengatakan bahwa pengertian manusia yang disebut insan,
yang dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang
amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan
pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan
kata basyar yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam
pengertian lahiriahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal,
hidup, dan kemudian mati.
Informasi
mengenai potensi beragama yang dimiliki manusia itu dapat pula dijumpai dalam
ayat artinya sebagai berikut.
“Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. al-A’raf [7]:
72)
Berdasarkan
informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan
makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan
petunjuk Nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang
dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Bukti
bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat
melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti tersebut kita
mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang
informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun
Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya. Misalnya mereka
mempertuhankan pada benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan
mengagumkan. Kepercayaan demikian itu selanjutnya disebut agama dinamisme.
Selanjutnya kekuatan misterius tersebut mereka ganti istilahnya dengan ruh atau
jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan buruk dan kemudian
mereka disebut agama animisme. Ruh dan jiwa itu selanjutnya mereka
personifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya
disebut agama politeisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki
potensi bertuhan. Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil
bentuk bermacam-macam yang keadaannya serba relatif. Dalam keadaan demikian
itulah para Nabi diutus kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang
mereka cari itu adalah Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan
dalam agama yang disampaikan para Nabi. Untuk itu, maka jika seseorang ingin
mendapatkan keagamaan yang benar haruslah melalui bantuan para Nabi. Kepada
mereka itu, para Nabi menginformsikan bahwa Tuhan yang menciptakan mereka dan
wajib disembah adalah Allah. Dengan demikian sebutan Allah bagi Tuhan, bukan
hasil khayalan manusia, dan bukan pula hasil seminar, penelitian dan
sebagainya. Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan
sendiri.
Informasi
lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan
oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya bahwa agama termasuk hal-hal yang memang
sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Einstein
menyatkan adanya bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan
agama. Demikian pula bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok
manusia untuk berpegang teguh pada agama.
Adanya
naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika
kita mengakaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji pahama hulul dari
al-Hallaj (858-922 M.) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia
terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut Lahut, dan sifat dasar
kemanusiaan yang disebut Nasut. Demikian pula pada diri Tuhanpun terdapat
sifat Lahut dan Nasut. Sifat Lahut Tuhan mengacau pada
zat-Nya, sedangkan sifat Nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Semesntara
itu sifat Nasut manusia mengacu kepada unsur lahiriah dan fisik manusia,
sedangkan sifat Lahut manusia mengacu pada unsur batiniah dan ilahiah.
Jika manusia mampu meredam sifat Nasutnya maka yang nampak adalah sifat Lahutnya.
Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan antara Nasut Tuhan dengan Lahut
manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.
Melalui
uraian tersebut sampailah pada kesimpulan, bahwa latar belakang perlunya
manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi
untuk beragama. Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan, dan
pengembangan, dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya.
1. Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor
lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping
manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara
lain diungkapkan oleh kata al-nafs. Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an, nafs
diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta
mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam
manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih
besar. Misalnya disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”
(QS. al-Syams [91]: 7-8)
Menurut
Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs
menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan
kebaikan dan keburukan. Disini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata
ini menurut al-Qur’an dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh al-Qusyairi dalam
risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah
sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi
tentang nafs ini sama dengan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia yang antara lain menjelaaskan bahwa nafs adalah dorongan
hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.
Selnajutnya
Quraish Shihab mengatakan, walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi
positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi
positif manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik
keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Sifat-sifat yang cenderung
kepada keburukan yang ada pada manusia itu antara lain berlaku dzalim (aniaya),
dalam keadaan susah payah (fi kabad), suka melampaui batas (anid),
sombong(kubbar), inkar dan sebagainya. Karena itu manusia dituntut agar
memelihara kesucian nafs ini manusia harus selalu mendekatkan diri pada
Tuhan dengan bimbingan agama, dan di sinilah letaknya kebutuhan manusia
terhadap agama.
Dalam
literatur teologi Islam misalnya kita jumpai pandangan kaum Mu’tazilah yang
rasionalis, karena banyak menadahulukan pendapat akal dalam memperkuat
argumentasinya daripada pendapat wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa
manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang dapat mengetahui yang
baik dan buruk, tetapi tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui akal.
Dalam hubungan inilah, maka kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar
menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat
dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama). Dengan demikian,
Mu’tazilsh secara tidak langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.
2. Tantangan Manusia
Faktor
lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam
kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari
dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu
dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat
berupa rekayaa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja
berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan
biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk
kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan.
Misalnya dalam QS. al-Anfal[8]:36 menjelaskan:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka
untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.”
Orang-orang
kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunankan
agar orang menngikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat
terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu maka upaya
mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat
menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini semakin
menigkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.
KESIMPULAN
Secara bahasa agama berarti tidak pergi, tetap di tempat,
diwarisi turun- temurun/ teks atau kitab suci/ tuntunan. Agama disebut juga
dengan din berasal dari bahasa
Arab yang artinya undang-undang atau hukum/ menguasai, menundukkan, patuh,
hutang, balasan, kebiasaan. Selain din agama disebut juga Religi berasal
dari bahasa Latin artinya mengumpulkan, membaca/ mengikat.
Sedangkan secara
istilah agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia
yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu
generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup
bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya
mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan
respons emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung
pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.
Agama memiliki
karakteristik sebagai berikut: Pertama, kekuatan gaib. Manusia
merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat memohon
pertolongan. Kedua, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia
dan kebahagiaan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan
kekuatan gaib yang dimaksud. Ketiga, respons yang bersifat emosional
dari manusia, baik dalam bentuk perasaan takut atau perasaan cinta. Selanjutnya
respons itu mengambil bentuk pemujaan atau penyembahan dan tata cara hidup
tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. Keempat, paham adanya yang
kudus dan suci, seperti kitab suci, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya.
Manusia membutuhkan terhadap agama dapat dilihat melalui
hal-hal berikut: a) Fitrah manusia, fitrah tersebut adalah potensi dalam diri
manusia untuk beragama. Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan,
dan pengembangan, dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya. b)
Kelemahan dan kekurangan manusia, adanya kekurang dan kelemahan ini membuat
manusia membutuhkan suatu tuntunan yang benar dan melalui agama itulah tuntunan
tersebut datang. c) Tantangan manusia, hal ini ditunjukkan dalam kehidupannya
senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam (nafsu
dan setan) maupun dari luar dirinya (sesama manusia yang mengajak untuk
berpaling dari Tuhan) .
[1]
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), 7-8.
[2] Ibid.,
8.
[3] Ibid.,
8-9.
[4] Ibid.,
9.
[5] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press,
1985), 9.
[7] Ibid.,10.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003), 14.
[11]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 63.
[12] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003), 15.
[13] Ibid., 15-16.
[14] Ibid., 16-25.
0 komentar:
Posting Komentar