Senin, 26 Desember 2011

KEDUDUKAN HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

I. KEDUDUKAN HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam menempati kedudukan setelah Al-Qur’an. Bagi umat Islam merupakan keharusan untuk mengikuti hadis sama halnya dengan mengikuti Al-Qur’an baik berupa perintah maupun larangan. Sebab Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber syari’at yang saling terkait. Seorang muslim tidak mungkin dapat memahami syari’at kecuali dengan merujuk kepada keduanya sekaligus dan seorang mujtahid tidak mungkin mengabaikan salah satunya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa’[4]:59.
                              
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Ayat ini dapat dipahami bahwa keberadaan sunnah sebagai wahyu Allah mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Al-Qur’an, yang wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan Al-Qur’an. Sementara itu kalau ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an lebih tinggi satu tingkat daripada otoritas sunnah, karena Al-Qur’an mempunyai kualitas “qath’iy” baik secara global maupun terperinci. Sedangkan sunnah berkulitas “qath’iy” secara global dan tidak secara terperinci. Disisi lain karena Nabi saw. Sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi saw. Tak lebih hanya penyampai Al-Qur’an kepada manusia.
Lebiha lanjut dijelaskan oleh Asy Syathiby (dalam Al Muwafaqat 4: 7-8) menerangkan bahwa rutbah (kedudukan) As Sunnah di bawah rutbah Al-Qur’an sebagai sumber ajaran agama dengan alasan sebagai berikut: a) Al Qur’an diterima dengan jalan yang yakin (maqthu’bihi), sedangkan As Sunnah diterima dengan jalan dhan (madhnun bihi). Keyakinan kita kepada sunnah hanyalah secara global saja; bukan secara detail. Al-Qur’an global dan detailnya diterima dengan cara meyakinkan. b) As Sunnah adakala, menerangkan (membayankan) sesuatu yang diijmalkan (diringkaskan uraiannya) oleh Al-Qur’an, adakala mensyarahkan Al-Qur’an, dan adakala mendatangkan yang belum didatangkan Al-Qur’an. Maka jika As Sunnah itu bersifat penerang (bayan), atau syarah, tentulah keadaannya (statusnya) tidak sama dengan dengan derajat pokok (yang diberikan penjelasannya) Nash yang bersifat pokok, dipandang asas. Nash yang bersifat syarah, dipandang cabang. Jika bersifat mendatangkan yang didatangkan Al-Qur’an, tiadalah diterima, kalau berlawanan dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Diterimanya, kalau yang didatangkan itu, tak ada dalam Al-Qur’an. Dan beriukut diuraikan dalil-dalil yang menjelaskan kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam: a. Al-Qur’an Banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul sebagai utusan Allah SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imron 17 dan An Nisa’ 36. Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang di bawahnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imron[3]: 32.
       •     
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". Disamping banyak ayat yang menyebutkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara bersama-sama, banyak ayat yang memerintahkan untuk mentaati Rasul yang berarti juga sama dengan ketaatan kepada Allah sebagaiman Firman Allah dalm Q.S. An-Nisa’ [4]: 80.
•     
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah”.
Dalam firman-Nya Q.S. Al Hasyr [59]: 7 
       
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”. Berdasarkan kenyataan ini, maka sebenarnya Allah juga menyebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an kewajiban mengamalkan sunnah yang menunjukkan bahwa hadis dijadikan sebagai salah satu sumber ajaran Islam. b. Hadis Nabi SAW Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda: تَرَكـْتُ فِـيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّـكْتُمْ بِهِماَ كِـتَابَ اللهِ وَ سُـنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مالك) “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (HR. Malik) Dalam hadis lain beliau bersabda: ...فَعَلَـيْكُمْ بِسُنَّتِي وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَـهْدِيِّـيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَاوَعَضُّوْاعَلَيْهَا... (رواه ابو داود و ابن ماجه) “Wajib bagi sekalian berpegangan teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah) Hadis-hadis tersebut diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis/menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an. c. Kesepakatan Ulama (Ijma’) Umat Islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal; karena telah sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Bahkan kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan terkandung di dalam hadis ternyata sudah sejak masa Rasulullah hidup. Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa’ al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkannya, akan tetapi bahkan menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya. d. Sesuai dengan Petunjuk Akal Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai nas menasakhnya. Bila kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perunda-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila diliahat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukum zhanny, kecuali hadis yang mutawatir.
II. FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Nahl[16]: 44.     ••      “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya. Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebut lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan at-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan bayanal-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhshish. Untuk lebih jelas berikut akan diuraikan beberapa hal mengenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an. 1. Bayan at-Taqrir Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut: فَإِذَا رَأَيْـتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْـتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا (رواه مسلم) “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim) Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:       “Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh [2]: 185) Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan nas al-Qur’an. 2. Bayan at-Tafsir Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum. a. Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global) Sebagai contoh hadis berikut: صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه البخارى) “Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari) Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:    •     “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh[2]: 43) b. Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan mutlaq artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut: لاتقطع يد السارق ا في ربع دينار فصاعدا (رواه مسلم) “Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muslim) Hadith di atas men-taqyid ayat al-Qur’an berikut:           “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah [5]: 38) c. Men-takhsis ayat yang ‘am Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak. Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah sebalikanya. Sebagai contoh: لايرث القتل من المقتول شيأ “Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.” (HR. Ahmad) Hadith tersebut men-takhsis keumuman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 44 berikut:          “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...” 3. Bayan at-tasyri’ Yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Bayan ini oleh Abbas Mutawalli Hammadah dengan “zaa’id ‘ala al-kitab al-kariim” (tambahan terhadap nash al-Qur’an). Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ “Bahwasanya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.”(HR. Muslim) Ibnu al- Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya. 4. Bayan al-Nasakh Pada bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an dan ada yang juga yang menolaknya. Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’i (pembuat sayari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal). Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadith yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadith, meskipun dengan hadith Ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah. Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadith tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah. Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadith masyhur, tanpa harus dengan hadith mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah. Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul SAW dari Abu Umamah al-Bahili, yang berbunyi:
إن الله قد اعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث (رواه أحمد والأربعة الاالنسائ)
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang hak(masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Ahmad dan al arba’ah, kecuali An-Nasaai’i) Hadis di atas dinilai Hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadith ini menurut mereka menasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
        •     .....
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf....” Keawajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadith yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.
III. KEMANDIRIAN SUNNAH DALAM MENETAPKAN HUKUM Imam syafi`i berpendapat mengenai kedudukan sunnah: pertama, yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an sebagai sesuatu nash, maka Rasulullah SAW melaksanakannya sebagaiman isi nash tersebut; kedua, yang diturunkan Allah SWT didalam Al-Qur`an secara keseluruhan, maka Rasulullah SAW menjelaskan maksud sebenarnya yang terkandung dalam firman Allah tersebut; ketiga; sesuatu yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW tentang hal-hal yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur`an. Untuk kategori yang disebutkan pertama dan kedua, para ulama sepakat untuk menerimanya, namun mereka berselisih untuk kategori yang ketiga, yaitu yang menyangkut kemandirian sunnah dalam menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an. Sehingga para ulama yang menanggapi masalah ini menjadi dua kelompok. Pertama, ulama menyetujui semua fungsi hadis seperti yang sudah disampaikan Imam Syafi’i. Kedua, ulama yang tidak menyetujui adanya kewenangan hadis dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada nash Al-Qur’an. Untuk kelompok yang kedua berpendapat bahwa sunnah pada dasarnya berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) terhadap Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Nahl[16]: 44 sebagaima yang telah disampaikan pada pembahasan fungsi hadis terhadap Al-Qur’an. Sementara itu, untuk kelompok yang pertama berpandangan bahwa sunnah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, meskipun tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an berargumentasi untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah SAW sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Seperti dalam QS. Al-Nisa’[4]: 80 Allah berfirman; “Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” Disisi lain ada yang mengatakan : Al-Qur’an telah menunjuk kepada setiap apa yang disebutkan dalam Hadis, baik secara global maupun terperinci. Tapi perlu diingat bahwa Rasulullah SAW sama sekali tidak menetapkan satu sunnah pun yang tidak terkait dengan pokoknya yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan ketaatan kepad Rasulullah SAW dan mengingatkan orang yang menyalahinya. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara apa yang diterangkan Nabi dari Al-Qur’an dan apa yang beliau perintahkan dalam sunnah beliau sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 63; “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan tertimpa cobaan atau terkena adzab yang pedih”. Melalui firman Allah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Allah menerima kekhususan kepada Nabi SAW sebagai sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh didurhakai. Sesuatu itu adalah sunnahnya yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam al-Qur’an. Serupa dengan hal ini apa yang diperintahkan Allah kepada orang-orang mukmin, agar mengembalikan pertikaian kepada Allah dan Rasulnya: Jika kalian berlainan tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian (An-Nisa’:59). Mengembalikan kepada Allah artinya kembali kepada al-Qur’an. Sedangkan kembali kepada Rasul, tidak lain artinya kecuali kembali kepada sunnah, sesudah beliau wafat. Tak seorang pun di antara ahli ilmu menentang bahwa mengamalkan apa yang dibawa oleh sunnah juga berarti mengamalkan al-Qur’an. Karena, al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Karena al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Juga karena al-Qur’an lebih umum dan Hadis lebih khusus. Yang lebih umum dengan sifat menyeluruhnya haruslah meliputi yang lebih khusus. Kesesuaian apa pun yang ada di antara al-Qur’an dan Hadis pada pokok-pokonya tidaklah menghalangi sedikitpun kemandirian Hadis menetapkan hukum-hukumnya atau penjelasannya, sampai pun dari pokok-pokok tersebut. Sebab, Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai imam, sunnahnya sebagai penuntun, dan petunjuk kenabiannya sebagai teladan yang baik bagi orang yang mengharap pahala Allah dan keselamatan pada Hari Kemudian. Sejak dulu para ulama sudah mengatakan, dan mereka benar bahwa: “Al-Qur’an menyisipkan satu tempat bagi sunnah. Dan sebaliknya, sunnah juga menyisihkan satu tempat buat al-Qur’an.” Hal ini tidaklah aneh setelah kita menyimak firman Allah: Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (An-Nisa’:80)
IV. PERBANDINGAN ANTARA HADIS NABAWI, HADIS QUDSI, DAN AL-QUR’AN 1. Hadis Qudsi Hadis Qudsi ialah hadis yang Rasulullah sandarkan kepada Allah SWT. Menurut kebanyakan ulama`, sebagaimana pendapat Abul Baqa` Al `Ukbari dalam kulliatnya halaman 288 yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya Al Qur`an itu adalah wahyu yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW. Dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan jalan ilham atau mimpi. Disebut hadith, karena redaksinya disusun dari Nabi SAW sendiri, dan disebut qudsi karena Hadith ini suci dan bersih (Ath-thaharah wa al-tanzih) dan datangnya dari zat yang Maha Suci yaitu Allah Rabb al-‘Alamin. Sehingga ada yang menyebut Hadith Ilahiyah atau Rabbiyah. 2. Perbandingan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi Hadis Nabawi maupun Hadis Qudsi memiliki kesamaan, yaitu pada dasarnya keduanya bersumber dari wahyu Allah SWT. Hal ini, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat an-Nazm ayat 3 dan 4 yang berbunyi:            “(3) Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya (4) ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Selain itu redaksi keduanya baik hadits nabawi maupun hadith qudsi disusun oleh Nabi SAW. Jadi yang tertulis itu semata-mata dari ungkapan atau kata-kata Nabi sendiri. Adapun yang membedakan antara Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi adalah; pertama, dari sudut sandarannya hadith nabawi disandarkan kepada Nabi SAW, sedangkan hadis qudsi disandarkan kepada Nabi SAW dan kepada Allah SAW. Dengan demikian maka dalam mengidentifikasinya, pada hadis qudsi terdapat kataa-kata seperti: قال رسول الله ص . م . فيما يرويه عن ربه “Rasul SAW telah bersabda, sebagaimana yang diterima dari Tuhan-Nya.” Atau kata-kata: قال رسول الله ص . م . قال الله عزوجل “Rasul SAW telah bersabda, Allah SWT berfirman.” Kedua, dari sudut nisbahnya hadith nabawi dinisbahkan kepada Nabi SAW baik redaksi maupun maknanya. Sedangakan hadith qudsi maknanya dinisbahkan kepada Allah SAW dan redaksinya kepada Nabi. Ketiga, dari sudut kuantitasnya jumlah hadis qudsi jauh lebih sedikit daripada hadis nabawi. 3. Perbandingan antara Hadis qudsi dengan al-Qur’an Hadis qudsi dengan Al-Qur’an keduanya memiliki persamaan bahwa sama-sama bersumber atau datang dari Allah SWT. Maka dalam periwayatkan atau penyampaian keduanya sama-sama memakai ungkapan, seperti قال الله عزوجل . Adapaun perbedaan antara Hadis Qudsi dengan al-Qur’an; pertama, al-Qur’an merupakan Mu’jizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW, sedangkan hadith qudsi bukan. Kedua, al-Qur’an redaksi dan maknanyalangsung dari Allah SWT sedangkan hadith qudsi bukan. Ketiga, dalam salat al-Qur’an merupakan bacaan yang diwajibkan sehingga tidak sah salat seorang kecuali dengan bacaan al-Qur’an. Hal ini tidak berlaku pada hadis qudsi. Keempat, menolak al-Qur’an merupakan perbuatan kufur, berbeda dengan penolakan hadis qudsi. Kelima, al-Qur’an diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril sedangkan hadis qudsi diberikan langsung baik melalui ilham maupun mimpi. Keenam, perlakuan atau sikap seseorang terhadap al-Qur’an diatur oleh beberapa aturan, seperti keharusan bersuci dari hadats ketika memegang dan membacanya, serta tidak boleh menyalin ke dalam bahasa lain tanpa dituliskan aslinya. Hal ini tidak berlaku pad hadis qudsi. Berikut contoh hadis qudsi: قل رسول الله ص . م . قال الله تعال إن بيوتي في الأرض الماسجدُ وان زُوّرِي فيهاعُمَّارُها (رواه ابو نعيم) “Rasul SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya rumah-Ku di bumi, adalah masjid-masjid dan sesungguhnya para pengunjung-Ku adalah orang – orang yang memakmurkannya.” (HR. Abu Nu’aim) Adapun yang bisa digunakan sebagai sandaran hukum dari Nabi SAW adalah segala sesuatu yang keluar dari beliau ketika sesudah Nabi menjadi Rasul. Sebagaimana Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa khabar-khabar yang mengenai Nabi terdapat dalam kitab-kitab tafsir, kitab-kitab sirah, kitab-kitab maghazi dan kitab-kitab hadis. Namun demikian dikatakan kitab hadis, ialah kitab-kitab yang menyebutkan apa yang Nabi kerjakan sesudah menerima Risalah. Hal-hal yang terjadi sebelum Risalah bukanlah disebut untuk menjadi syariat. Yang menjadi syariat hanyalah yang nabi kerjakan sesudah Risalah.  
BAB III PENUTUP KESIMPULAN 
1. Hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila diliahat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukum zhanny, kecuali hadis yang mutawatir.
2. Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai bayan al-taqrir (penjelasan memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an; sebagai bayan al-Tafsir (menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an); sebagai bayan al-tasyri’ (mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja); sebagai bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan, dan mengganti ketentuan yang teradapat dalam Al-Qur’an).
3. Hadis sebagai sumber ajaran terutama dalam kemandiriannya untuk menentukan hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an para ulama’ mengalami perbedaan pendapat, ada yang menyetujui dan dilain pihak tidak menerima kemandirian tersebut.
4. Al Qur`an itu adalah wahyu yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW. Sedangkan Hadis Nabawi ma’na dan lafadhnya dari Rasulullah SAW baik dengan ilham dari Allah maupun ijtihadnya yang muncul setelah kenabian.
5. Sunnah Nabi yang dapat dijadikan sumber ajaran agama adalah adalah segala yang Nabi SAW kerjakan ketika sesudah menerima Risalah atau diutus menjadi Rasal.  

DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
As-Shalih, Subhi. Membahas Il-mu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Ichwan, Mohmmmad Nor. Studi Ilmu Hadis. Semarang: Rasail Media Group, 2007.
Rofiah, Khusniati. Studi Ilmu Hadith. Ponorogo: STAIN PO Press, 2010.
Suparta,Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Sabtu, 24 Desember 2011

Kebutuhan Manusia Terhadap AGAMA

A. PENGERTIAN AGAMA Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebiasaan (etimologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah, karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikan. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba, misalnya berusaha mengumpulkan semua definisi yang pernah dibuat orang tentang agama, tak kurang dari 48 teori. Namun akhirnya ia berkesimpulan, bahwa usaha untuk membuat definisi agama itu tak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Peryataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut. Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan, bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum ialah adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami arti agama, disamping adanya perbedaan juga dalam cara memahami serta penerimaan setiap agama terhadap seuatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki interprestasi diri yang berbeda dan keluasan interprestasi dari itu juga berbeda-beda. Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, hingga W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa tidak ada yang sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama, karena setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Disamping itu, tampak bahwa pada umumnya orang lebih condong kepada mengaku beragama, kendatipun ia tidak menjalankannya. Dari pengertian-pengertian tersebut, telah memberikan pandangan bahwa pengertian agama yang dikemukakan seorang ahli tidak ada yang lebih unggul dibandingkan dengan pengertian agama yang diberikan yang lainnya, sehingga tidak muncul anggapan lebih superior dan tertutup untuk menerima pendapat orang lain yang justeru akan merugikan. Untuk itu berikut dijelaskan mengenai pengertian agama ditinjau dari segi bahasanya: Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din ( الدّين ) dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun- temurun. Agama memang mempunyai sifat demikian. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntunan. Memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya. Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan keputusan membawa pula kepada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan yang patuh akan mendapat balasan baik dari Tuhan. Yang tidak menjalankan kewajiban dan yang tidak patuh akan mendapat balasan tidak baik. Religi berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat asalnya ialah relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat ikatan antara roh manusia dengan Tuhan. Dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan. Inti-sari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindra. Oleh karena itu agama diberi definisi-definisi sebagai berikut : 1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. 2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. 3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. 4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. 5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib. 6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiaban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib. 7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. 8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Selanjutnya Taib Tahar Abdul Mu’in dalam bukunya Ilmu Kalam, mengemukakan definisi agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Dari beberapa definisi diatas, dapat diketahui bahwa agama mempunyai karakteristik yang menjadi ciri sebuah agama. Adapun karakteristik agama tersebut sebagai berikut: Pertama, kekuatan gaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat memohon pertolongan. Manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut dengan mematuhi perintah dan larangannya. Kedua, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Tanpa adanya hubungan yang baik itu, manusia akan sengsara hidupnya di dunia dan di akhirat. Ketiga, respons yang bersifat emosional dari manusia, baik dalam bentuk perasaan takut atau perasaan cinta. Selanjutnya respons itu mengambil bentuk pemujaan atau penyembahan dan tata cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. Keempat, paham adanya yang kudus (the sacred) dan suci, seperti kitab suci, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respons emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut. Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama kebudayaan. Kedua aspek tujuannya, yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respons yang bersifat emosional dan adanya yang dianggap suci. Keempat aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain. Kelima aspek sumbernya, yaitu kitab suci. B. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan-alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Fitrah Manusia Dalam bukunya berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali a.s. menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah. Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah kegamaan tersebut di atas, buat pertama kali ditegaskan dalam ajaran agama Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitrah manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini, mucul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inillah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu. Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang berbunyi,          ••             ••    “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. al-Rum [30]: 30) Adanya potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah ihsan yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan manusia. Dengan mengacu kepada informasi yang diberikan al-Qur’an, Musa Asy’ari dalam bukunya Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, samapai pada suatu kesimpulan bahwa manusia insan adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya, sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari cipataan-Nya. Lebih lanjut Musa Asy’ari mengatakan bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup, dan kemudian mati. Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki manusia itu dapat pula dijumpai dalam ayat berikut.                          •     “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. al-A’raf [7]: 72) Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk Nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti tersebut kita mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya. Misalnya mereka mempertuhankan pada benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan. Kepercayaan demikian itu selanjutnya disebut agama dinamisme. Selanjutnya kekuatan misterius tersebut mereka ganti istilahnya dengan ruh atau jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan buruk dan kemudian mereka disebut agama animisme. Ruh dan jiwa itu selanjutnya mereka personifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya disebut agama politeisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi bertuhan. Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil bentuk bermacam-macam yang keadaannya serba relatif. Dalam keadaan demikian itulah para Nabi diutus kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang mereka cari itu adalah Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan dalam agama yang disampaikan para Nabi. Untuk itu, maka jika seseorang ingin mendapatkan keagamaan yang benar haruslah melalui bantuan para Nabi. Kepada mereka itu, para Nabi menginformsikan bahwa Tuhan yang menciptakan mereka dan wajib disembah adalah Allah. Dengan demikian sebutan Allah bagi Tuhan, bukan hasil khayalan manusia, dan bukan pula hasil seminar, penelitian dan sebagainya. Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan sendiri. Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Einstein menyatkan adanya bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan agama. Demikian pula bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok manusia untuk berpegang teguh pada agama. Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita mengakaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji pahama hulul dari al-Hallaj (858-922 M.) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut Lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut Nasut. Demikian pula pada diri Tuhanpun terdapat sifat Lahut dan Nasut. Sifat Lahut Tuhan mengacau pada zat-Nya, sedangkan sifat Nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Semesntara itu sifat Nasut manusia mengacu kepada unsur lahiriah dan fisik manusia, sedangkan sifat Lahut manusia mengacu pada unsur batiniah dan ilahiah. Jika manusia mampu meredam sifat Nasutnya maka yang nampak adalah sifat Lahut¬nya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan antara Nasut Tuhan dengan Lahut manusia, dan inilah yang dinamakan hulul. Melalui uraian tersebut sampailah pada kesimpulan, bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan, dan pengembangan, dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya. 2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain diungkapkan oleh kata al-nafs. Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Misalnya disebutkan dalam al-Qur’an:         “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. al-Syams [91]: 7-8) Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Disini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut al-Qur’an dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaaskan bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik. Selnajutnya Quraish Shihab mengatakan, walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Sifat-sifat yang cenderung kepada keburukan yang ada pada manusia itu antara lain berlaku dzalim (aniaya), dalam keadaan susah payah (fi kabad), suka melampaui batas (anid), sombong(kubbar), inkar dan sebagainya. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs ini manusia harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama, dan di sinilah letaknya kebutuhan manusia terhadap agama. Dalam literatur teologi Islam misalnya kita jumpai pandangan kaum Mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak menadahulukan pendapat akal dalam memperkuat argumentasinya daripada pendapat wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang dapat mengetahui yang baik dan buruk, tetapi tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui akal. Dalam hubungan inilah, maka kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilsh secara tidak langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu. 3. Tantangan Manusia Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayaa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Misalnya dalam QS. al-Anfal[8]:36 menjelaskan: •         “Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.” Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunankan agar orang menngikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu maka upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini semakin menigkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting. DAFTAR PUSTAKA Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press, 1985. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Senin, 05 September 2011

Rona-Rona Remaja Masa Kini

Remaja menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah mulai dewasa, sudah sampai umur untuk kawin, bukan kanak-kanak lagi. Melihat pengertian tersebut tentunya kita akan berfikir dan beratanya-tanya apakah hanya itu seseorang bisa dikatakan remaja? Tentunya saja tidak jawabannya, menurut para ahli : remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini dan Siti Sundari masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria.
Dalam masa remaja dimana seorang masih berkembang, belum matang pola pikirnya dan belum setabil, tentunya banyak hal dan keinginan yang ingin dicapai dan dilakukan. Ditunjang dengan tubuh yang masih kuat dan sehat rasanya semua ingin dilakukan dan dicapai. Namun di masa ini, remaja perlu dipersiapkan jasmani dan rohaninya dengan sebaik-baiknya. Ibarat pohon yang masih segar dan berkembang perlu dipupuk dan dirawat dengan baik jangan sampai tidak terawat sehingga menjadi lemah dan akhirnya membusuk. Begitu juga remaja jika tidak dididik dan diberi bekal yang baik tentunya remaja itu akan menjadi remaja yang berperilaku buruk dan akhirnya menjadi virus dalam masyarakat.
Di zaman globalisasi seperti ini tidak lagi sama seperti zaman dulu yang kuno dan tradisional. Kini ditunjang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semua terasa mudah, dunia bagaikan dalam gengaman. Melalui telepon, Hp,dan internet kita bisa berhubungan dengan seseorang dibelahan dunia lain yang jauh. Sehingga yang jauh akan terasa dekat dan yang dekat semakin terasa dekat. Dalam zaman seperti ini, remaja akan lebih cepat berkembang perilakunya menjadi dewasa namun tidak ditunjang dengan pola pikir yang dewasa. Tentunya perkembangan yang semakin cepat dan tidak dibarengi dengan pendewasaan dalam berpikir serta bertindak akan menjadikan remaja yang kurang baik. Remaja lebih condong untuk mencontoh perilaku yang dicontohkan di film-film dan iklan-iklan yang ada di televisi maupun media elektronik lainnya yang banyak menampilkan adegan-adegan negatif, seperti pornografi dan kekerasan. Sehingga budaya seperti itutelah merebak di kalngan remaja. Contohnya budaya pacaran saat ini makin merebak di kalangan remaja. Bahkan sekarang budaya freesex atau pergaulan bebas sudah sering dilakukan oleh remaja yang sedang memadu asmara lewat jalinan cinta yang disebut pacaran. Hal tersebut telah banyak di publikasikan di media massa dan media elektronik.
Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat beberapa faktor-faktor yang berperan untuk menanggulangi problematika masa remaja sekaligus berperan dalam membentuk kepribadian remaja. Faktor pertama adalah faktor eksternal yang terdiri dari aspek lingkungan dan pergaulan. Lingkungan yang baik dan pergaulan dengan orang yang baik akan membentuk remaja yang baik, begitu juga sebaliknya lingkungan yang buruk akan membentuk remaja menjadi kurang baik dan yang mudah terpengaruh oleh budaya sekitar yang kurang baik jika tidak didukung pendidikan rohani yang kuat yang dapat memfilternya.
Faktor kedua adalah faktor internal yang terdiri dari aspek pendidik. Dengan pendidikan yang luas dan baik seorang remaja bisa memilah dan milih manakah yang baik dan buruk. Ditunjang dengan pendidikan rohani yang bagus seorang remaja akan menjadi lebih kuat dan tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh lingkungan dimanapun ia berada, baik dilingkungan yang buruk sekalipun.
Meskipun masa remaja adalah masa yang belum stabil dalam berfikir dan bertindak serta proses untuk menjadi dewasa sebagai mana dijelaskan sebelumnya. Tapi masa ini adalah masa yang akan berkesan disaat tuanya. Karena di masa ini adalah masa dimana ia bisa bertualang dengan bebasnya, besekolah, bercanda-canda dengan teman-temannya yang tidak akan sama jika ia sudah dewasa ataupun tua. Karena di saat dewasa maupun tua, pikiran dan waktunya difokuskan untuk bagaimana hidupnya lebih baik dan menghidupi serta membahagiakan keluarganya. Alangkah indahnya jika masa remaja itu digunakan dengan baik dan dipersiapkan untuk masa yang akan datang tidak hanya digunakan untuk berhura-hura dan berfoya-foya mengikuti kesenangan sesaat. 
http://edupsi.wordpress.com/2010/04/03/pengertian-remaja-arti-remaja-menurut-para-ahli/