Senin, 30 April 2012

HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA


I.            KEDUDUKAN HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam menempati kedudukan setelah Al-Qur’an. Bagi umat Islam merupakan keharusan untuk mengikuti hadis sama halnya dengan mengikuti Al-Qur’an baik berupa perintah maupun larangan. Sebab Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber syari’at yang saling terkait. Seorang muslim tidak mungkin dapat memahami syari’at kecuali dengan merujuk kepada keduanya sekaligus dan seorang mujtahid tidak mungkin mengabaikan salah satunya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa’[4]:59.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Ayat ini dapat dipahami bahwa  keberadaan sunnah sebagai wahyu Allah mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Al-Qur’an, yang wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan Al-Qur’an. Sementara itu kalau ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an lebih tinggi satu tingkat daripada otoritas sunnah, karena Al-Qur’an mempunyai kualitas “qath’iy” baik secara global maupun terperinci. Sedangkan sunnah berkulitas “qath’iy” secara global dan tidak secara terperinci. Disis lain karena Nabi saw. Sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi saw. Tak lebih hanya penyampai Al-Qur’an kepada manusia.[1]  
Lebiha lanjut dijelaskan oleh Asy Syathiby (dalam Al Muwafaqat 4: 7-8) menerangkan bahwa rutbah (kedudukan) As Sunnah di bawah rutbah Al-Qur’an sebagai sumber ajaran agama dengan alasan sebagai berikut:
a)      Al Qur’an diterima dengan jalan yang yakin (maqthu’bihi), sedangkan As Sunnah diterima dengan jalan dhan (madhnun bihi). Keyakinan kita kepdada sunnah hanyalah secara global saja; bukan secara detail. Al-Qur’an global dan detailnya diterima dengan cara meyakinkan.
b)      As Sunnah adakala, menerangkan (membayankan) sesuatu yang diijmalkan (diringkaskan uraiannya) oleh Al-Qur’an, adakala mensyarahkan Al-Qur’an, dan adakala mendatangkan yang belum didatangkan Al-Qur’an.
Maka jika As Sunnah itu bersifat penerang (bayan), atau syarah, tentulah keadaannya (statusnya) tidak sama dengan dengan derajat pokok (yang diberikan penjelasannya)
Nash yang bersifat pokok, dipandang asas. Nash yang bersifat syarah, dipandang cabang.
Jika bersifat mendatangkan yang didatangkan Al-Qur’an, tiadalah diterima, kalau berlawanan dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Diterimanya, kalau yang didatangkan itu, tak ada dalam Al-Qur’an.[2]
Dan beriukut diuraikan dalil-dalil yang menjelaskan kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam:
a.       Al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul sebagai utusan Allah SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imron 17 dan An Nisa’ 36.[3]
Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang di bawahnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imron[3]: 32.
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

Disamping banyak ayat yang menyebutkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara bersama-sama, banyak ayat yang memerintahkan untuk mentaati Rasul yang berarti juga sama dengan ketaatan kepada Allah sebagaiman Firman Allah dalm Q.S. An-Nisa’ [4]: 80.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah”.
Dalam firman-Nya Q.S. Al Hasyr [59]: 7“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”.
Berdasarkan kenyataan ini, maka sebenarnya Allah juga menyebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an kewajiban mengamalkan sunnah yang menunjukkan bahwa hadis dijadikan sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
b.      Hadis Nabi SAW
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
تَرَكـْتُ فِـيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّـكْتُمْ بِهِماَ كِـتَابَ اللهِ وَ سُـنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مالك)
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (HR. Malik)
Dalam hadis lain beliau bersabda:
...فَعَلَـيْكُمْ بِسُنَّتِي وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَـهْدِيِّـيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَاوَعَضُّوْاعَلَيْهَا... (رواه ابو داود و ابن ماجه)
“Wajib bagi sekalian berpegangan teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)
Hadis-hadis tersebut diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis/menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.[4]
c.       Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal; karena telah sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Bahkan kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan terkandung di dalam hadis ternyata sudah sejak masa Rasulullah hidup. Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa’ al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkannya, akan tetapi bahkan menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.[5]
d.      Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai nas menasakhnya.
Bila kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perunda-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila diliahat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukum zhanny, kecuali hadis yang mutawatir.[6]
II.            FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN
Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Nahl[16]: 44.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebut lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan at-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan bayanal-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhshish.[7] Untuk lebih jelas berikut akan diuraikan beberapa hal mengenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.
1.      Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut:
فَإِذَا رَأَيْـتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْـتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا (رواه مسلم)
Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh [2]: 185)
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan nas al-Qur’an.[8]
2.      Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.
a.       Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global)
 Sebagai contoh hadis berikut:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه البخارى)
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh[2]: 43)
b.      Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan mutlaq artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:
لاتقطع يد السارق ا في ربع دينار فصاعدا (رواه مسلم)
“Tangan  pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muslim)
Hadith di atas men-taqyid  ayat al-Qur’an berikut:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah [5]: 38)
c.       Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak. Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat  fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah sebalikanya.[9] Sebagai contoh:
لايرث القتل من المقتول شيأ
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.” (HR. Ahmad)
Hadith tersebut men-takhsis keumuman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 44 berikut:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”
3.      Bayan at-tasyri’
Yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Bayan ini oleh Abbas Mutawalli Hammadah denganzaa’id ‘ala al-kitab al-kariim” (tambahan terhadap nash al-Qur’an).
 Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Bahwasanya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.”(HR. Muslim)
Ibnu al- Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya. [10]
4.      Bayan al-Nasakh
Pada bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an dan ada yang juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’i (pembuat sayari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).[11]
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadith yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadith, meskipun dengan hadith Ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah.
Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadith tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadith masyhur, tanpa harus dengan hadith mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul SAW dari Abu Umamah al-Bahili, yang berbunyi:
إن الله قد اعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث (رواه أحمد والأربعة الاالنسائ)
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang hak(masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Ahmad dan al arba’ah, kecuali An-Nasaai’i)
Hadis di atas dinilai Hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadith ini menurut mereka menasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf....”
Keawajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadith yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat. [12]
III.            KEMANDIRIAN SUNNAH DALAM MENETAPKAN HUKUM
Imam syafi`i berpendapat mengenai kedudukan sunnah: pertama, yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an sebagai sesuatu nash, maka Rasulullah SAW melaksanakannya sebagaiman isi nash tersebut; kedua, yang diturunkan Allah SWT didalam Al-Qur`an secara keseluruhan, maka Rasulullah SAW menjelaskan maksud sebenarnya yang terkandung dalam firman Allah tersebut; ketiga; sesuatu yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW tentang hal-hal yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur`an.
Untuk kategori yang disebutkan pertama dan kedua, para ulama sepakat untuk menerimanya, namun mereka berselisih untuk kategori yang ketiga, yaitu yang menyangkut kemandirian sunnah dalam menetapkan  hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an. Sehingga para ulama yang menanggapi masalah ini menjadi dua kelompok. Pertama, ulama menyetujui semua fungsi hadis seperti yang sudah disampaikan Imam Syafi’i. Kedua, ulama yang tidak menyetujui adanya kewenangan hadis dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada nash Al-Qur’an.
Untuk kelompok yang kedua berpendapat bahwa sunnah pada dasarnya berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) terhadap Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Nahl[16]: 44 sebagaima yang telah disampaikan pada pembahasan fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.
Sementara itu, untuk kelompok yang pertama berpandangan bahwa sunnah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, meskipun tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an berargumentasi untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah SAW sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Seperti dalam QS. Al-Nisa’[4]: 80 Allah berfirman; “Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.”[13]
Disisi lain ada yang mengatakan : Al-Qur’an telah menunjuk kepada setiap apa yang disebutkan dalam Hadis, baik secara global maupun terperinci. Tapi perlu diingat bahwa Rasulullah SAW sama sekali tidak menetapkan satu sunnah pun yang tidak terkait dengan pokoknya yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan ketaatan kepad Rasulullah SAW dan mengingatkan orang yang menyalahinya. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara apa yang diterangkan Nabi dari Al-Qur’an dan apa yang beliau perintahkan dalam sunnah beliau sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 63; “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan tertimpa cobaan atau terkena adzab yang pedih”. Melalui firman Allah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Allah menerima kekhususan kepada Nabi SAW sebagai sesuatu  yang harus ditaati dan tidak boleh didurhakai. Sesuatu itu adalah sunnahnya yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Serupa dengan hal ini apa yang diperintahkan Allah kepada orang-orang mukmin, agar mengembalikan pertikaian kepada Allah dan Rasulnya: Jika kalian berlainan tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian (An-Nisa’:59). Mengembalikan kepada Allah artinya kembali kepada al-Qur’an. Sedangkan kembali kepada Rasul, tidak lain artinya kecuali kembali kepada sunnah, sesudah beliau wafat.
Tak seorang pun di antara ahli ilmu menentang bahwa mengamalkan apa yang dibawa oleh sunnah juga berarti mengamalkan al-Qur’an. Karena, al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Karena al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Juga karena al-Qur’an lebih umum dan Hadis lebih khusus. Yang lebih umum dengan sifat menyeluruhnya haruslah meliputi yang lebih khusus. Kesesuaian apa pun yang ada di antara al-Qur’an dan Hadis pada pokok-pokonya tidaklah menghalangi sedikitpun kemandirian Hadis menetapkan hukum-hukumnya atau penjelasannya, sampai pun dari pokok-pokok tersebut. Sebab, Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai imam, sunnahnya sebagai penuntun, dan petunjuk kenabiannya sebagai teladan yang baik bagi orang yang mengharap pahala Allah dan keselamatan pada Hari Kemudian.
Sejak dulu para ulama sudah mengatakan, dan mereka benar bahwa: “Al-Qur’an menyisipkan satu tempat bagi sunnah. Dan sebaliknya, sunnah juga menyisihkan satu tempat buat al-Qur’an.” Hal ini tidaklah aneh setelah kita menyimak firman Allah: Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (An-Nisa’:80)[14]
IV.            PERBANDINGAN ANTARA HADIS NABAWI, HADIS QUDSI, DAN AL-QUR’AN
1.      Hadis Qudsi
Hadis Qudsi ialah hadis yang Rasulullah sandarkan kepada Allah SWT. Menurut kebanyakan ulama`, sebagaimana pendapat Abul Baqa` Al `Ukbari dalam kulliatnya halaman 288 yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya Al Qur`an itu adalah wahyu yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW. Dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan jalan ilham atau mimpi.[15]
Disebut hadith, karena redaksinya disusun dari Nabi SAW sendiri, dan disebut qudsi karena Hadith ini suci dan bersih (Ath-thaharah wa al-tanzih) dan datangnya dari zat yang Maha Suci yaitu Allah Rabb al-‘Alamin. Sehingga ada yang menyebut Hadith Ilahiyah atau Rabbiyah.[16]
2.      Perbandingan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
Hadis  Nabawi maupun Hadis Qudsi memiliki kesamaan, yaitu pada dasarnya keduanya bersumber dari wahyu Allah SWT. Hal ini, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat an-Nazm ayat 3 dan 4 yang berbunyi:
“(3) Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya (4) ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Selain itu redaksi keduanya baik hadits nabawi maupun hadith qudsi disusun oleh Nabi SAW. Jadi yang tertulis itu semata-mata dari ungkapan atau kata-kata Nabi sendiri.
Adapun yang membedakan antara Hadis  Nabawi dan Hadis Qudsi adalah; pertama, dari sudut sandarannya hadith nabawi disandarkan kepada Nabi SAW, sedangkan hadis qudsi disandarkan kepada Nabi SAW dan kepada Allah SAW. Dengan demikian maka dalam mengidentifikasinya, pada hadis qudsi terdapat kataa-kata seperti:
قال رسول الله ص . م . فيما يرويه عن ربه
Rasul SAW telah bersabda, sebagaimana yang  diterima dari Tuhan-Nya.”
Atau kata-kata:
قال رسول الله ص . م . قال الله عزوجل
 Rasul SAW telah bersabda, Allah SWT berfirman.”
Kedua, dari sudut nisbahnya hadith nabawi dinisbahkan kepada Nabi SAW baik redaksi maupun maknanya. Sedangakan hadith qudsi maknanya dinisbahkan kepada Allah SAW dan redaksinya kepada Nabi.
Ketiga, dari sudut kuantitasnya jumlah hadis qudsi jauh lebih sedikit daripada hadis nabawi.
3.      Perbandingan antara Hadis qudsi dengan al-Qur’an
Hadis qudsi dengan Al-Qur’an keduanya memiliki persamaan bahwa sama-sama bersumber atau datang dari Allah SWT. Maka dalam periwayatkan atau penyampaian keduanya sama-sama memakai ungkapan, seperti  قال الله عزوجل .
Adapaun perbedaan antara Hadis Qudsi dengan al-Qur’an; pertama, al-Qur’an merupakan Mu’jizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW, sedangkan hadith qudsi bukan.
Kedua, al-Qur’an redaksi dan maknanyalangsung dari Allah SWT sedangkan hadith qudsi bukan.
Ketiga, dalam salat al-Qur’an merupakan bacaan yang diwajibkan sehingga tidak sah salat seorang kecuali dengan bacaan al-Qur’an. Hal ini tidak berlaku pada hadis qudsi.
Keempat, menolak al-Qur’an merupakan perbuatan kufur, berbeda dengan penolakan hadis qudsi.
Kelima, al-Qur’an diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril sedangkan hadis qudsi diberikan langsung baik melalui ilham maupun mimpi.
Keenam, perlakuan atau sikap seseorang terhadap al-Qur’an diatur oleh beberapa aturan, seperti keharusan bersuci dari hadats ketika memegang dan membacanya, serta tidak boleh menyalin ke dalam bahasa lain tanpa dituliskan aslinya. Hal ini tidak berlaku pad hadis qudsi.[17]
Berikut contoh hadis qudsi:
قل رسول الله ص . م . قال الله تعال إن بيوتي في الأرض الماسجدُ وان زُوّرِي فيهاعُمَّارُها (رواه ابو نعيم)
Rasul SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya rumah-Ku di bumi, adalah masjid-masjid dan sesungguhnya para pengunjung-Ku adalah orang – orang yang memakmurkannya.” (HR. Abu Nu’aim)
Adapun yang bisa digunakan sebagai sandaran hukum dari Nabi SAW adalah segala sesuatu yang keluar dari beliau ketika sesudah Nabi menjadi Rasul. Sebagaimana Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa khabar-khabar yang mengenai Nabi terdapat dalam kitab-kitab tafsir, kitab-kitab sirah, kitab-kitab maghazi dan kitab-kitab hadis. Namun demikian dikatakan kitab hadis, ialah kitab-kitab yang menyebutkan apa yang Nabi kerjakan sesudah menerima Risalah. Hal-hal yang terjadi sebelum Risalah bukanlah disebut untuk menjadi syariat. Yang menjadi syariat hanyalah yang nabi kerjakan sesudah Risalah.[18]


KESIMPULAN
1.      Hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila diliahat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukum zhanny, kecuali hadis yang mutawatir.
2.      Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai bayan al-taqrir (penjelasan memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an; sebagai bayan al-Tafsir (menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an); sebagai bayan al-tasyri’ (mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja); sebagai bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan,  dan mengganti  ketentuan yang teradapat dalam Al-Qur’an).
3.      Hadis sebagai sumber ajaran terutama dalam kemandiriannya untuk menentukan hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an para ulama’ mengalami perbedaan pendapat, ada yang menyetujui dan dilain pihak tidak menerima kemandirian tersebut.
4.      Al Qur`an itu adalah wahyu yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW. Sedangkan Hadis Nabawi ma’na dan lafadhnya dari Rasulullah SAW baik dengan ilham dari Allah maupun ijtihadnya yang muncul setelah kenabian.
5.      Sunnah Nabi yang dapat dijadikan sumber ajaran agama adalah adalah segala yang Nabi SAW kerjakan ketika sesudah menerima Risalah atau diutus menjadi Rasal.




[1]Mohmmmad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis (Semarang: Rasail Media Group, 2007), 30.
[2]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),  173-174.
[3]Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadith (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 20.
[4]Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT  RajaGrafindo Persada, 2008),  53-55.
[5]Ibid, 55-56.
[6] Ibid, 57.
[7]Ibid, 58.
[8]Ibid, 58-60.
[9] Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadith (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 26-29.
[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT  RajaGrafindo Persada, 2008),  63-65.
[11]Ibid, 65.
[12] Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadith (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 32-33.
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT  RajaGrafindo Persada, 2008), 52-57.
[14]Subhi As-Shalih, Membahas Il-mu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002),  273-275.
[15] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987),  356.
[16] Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadith (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 36.
[17]Ibid,  36-39.
[18]M.Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987), 358.