I.
KEDUDUKAN
HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Seluruh
umat Islam telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam
menempati kedudukan setelah Al-Qur’an. Bagi umat Islam merupakan keharusan
untuk mengikuti hadis sama halnya dengan mengikuti Al-Qur’an baik berupa
perintah maupun larangan. Sebab Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber syari’at
yang saling terkait. Seorang muslim tidak mungkin dapat memahami syari’at
kecuali dengan merujuk kepada keduanya sekaligus dan seorang mujtahid tidak
mungkin mengabaikan salah satunya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S.
Al-Nisa’[4]:59.
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Ayat
ini dapat dipahami bahwa keberadaan
sunnah sebagai wahyu Allah mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Al-Qur’an,
yang wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan Al-Qur’an. Sementara itu
kalau ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an
lebih tinggi satu tingkat daripada otoritas sunnah, karena Al-Qur’an mempunyai
kualitas “qath’iy” baik secara global maupun terperinci. Sedangkan
sunnah berkulitas “qath’iy” secara global dan tidak secara terperinci.
Disis lain karena Nabi saw. Sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah dan
hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi saw. Tak lebih hanya penyampai Al-Qur’an kepada
manusia.[1]
Lebiha
lanjut dijelaskan oleh Asy Syathiby (dalam Al Muwafaqat 4: 7-8) menerangkan
bahwa rutbah (kedudukan) As Sunnah di bawah rutbah Al-Qur’an sebagai sumber
ajaran agama dengan alasan sebagai berikut:
a) Al Qur’an diterima dengan jalan yang yakin
(maqthu’bihi), sedangkan As Sunnah diterima dengan jalan dhan (madhnun bihi).
Keyakinan kita kepdada sunnah hanyalah secara global saja; bukan secara detail.
Al-Qur’an global dan detailnya diterima dengan cara meyakinkan.
b) As Sunnah adakala, menerangkan (membayankan)
sesuatu yang diijmalkan (diringkaskan uraiannya) oleh Al-Qur’an, adakala mensyarahkan
Al-Qur’an, dan adakala mendatangkan yang belum didatangkan Al-Qur’an.
Maka
jika As Sunnah itu bersifat penerang (bayan), atau syarah, tentulah keadaannya
(statusnya) tidak sama dengan dengan derajat pokok (yang diberikan
penjelasannya)
Nash
yang bersifat pokok, dipandang asas. Nash yang bersifat syarah, dipandang
cabang.
Jika
bersifat mendatangkan yang didatangkan Al-Qur’an, tiadalah diterima, kalau
berlawanan dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Diterimanya, kalau yang
didatangkan itu, tak ada dalam Al-Qur’an.[2]
Dan
beriukut diuraikan dalil-dalil yang menjelaskan kedudukan hadis sebagai sumber
ajaran Islam:
a. Al-Qur’an
Banyak
ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul sebagai utusan Allah SWT merupakan satu
keharusan dan sekaligus kebutuhan individu. Dengan demikian Allah akan
memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam surat Ali Imron 17 dan An Nisa’ 36.[3]
Selain
Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan
agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang di bawahnya.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imron[3]: 32.
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika
kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
Disamping banyak ayat yang
menyebutkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara bersama-sama, banyak
ayat yang memerintahkan untuk mentaati Rasul yang berarti juga sama dengan
ketaatan kepada Allah sebagaiman Firman Allah dalm Q.S. An-Nisa’ [4]: 80.
“Barangsiapa yang
mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah”.
Dalam
firman-Nya Q.S. Al Hasyr [59]: 7“Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah”.
Berdasarkan
kenyataan ini, maka sebenarnya Allah juga menyebutkan secara eksplisit di dalam
Al-Qur’an kewajiban mengamalkan sunnah yang menunjukkan bahwa hadis dijadikan
sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
b. Hadis Nabi SAW
Dalam
salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis
sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau
bersabda:
تَرَكـْتُ فِـيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ
تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّـكْتُمْ بِهِماَ كِـتَابَ اللهِ وَ سُـنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه
مالك)
“Aku tinggalkan dua pusaka
untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh
pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (HR. Malik)
Dalam
hadis lain beliau bersabda:
...فَعَلَـيْكُمْ بِسُنَّتِي وَ سُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَـهْدِيِّـيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَاوَعَضُّوْاعَلَيْهَا...
(رواه ابو داود و ابن ماجه)
“Wajib bagi sekalian berpegangan teguh dengan
sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk),
berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)
Hadis-hadis
tersebut diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis/menjadikan
hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya
berpegang teguh kepada Al-Qur’an.[4]
c. Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat
Islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal;
karena telah sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Bahkan kesepakatan umat
Islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan terkandung
di dalam hadis ternyata sudah sejak masa Rasulullah hidup. Sepeninggal beliau,
semenjak masa Khulafa’ al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak
ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan
mengamalkannya, akan tetapi bahkan menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan
kepada generasi-generasi selanjutnya.[5]
d. Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan
Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam
mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang
diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas
inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau
membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk
oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap
berlaku sampai nas menasakhnya.
Bila
kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya
segala peraturan dan perunda-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan
atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber
hukum dan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada
Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala
ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari
uraian diatas dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan
sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan
bila diliahat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukum zhanny,
kecuali hadis yang mutawatir.[6]
II.
FUNGSI HADIS
TERHADAP AL-QUR’AN
Sebagai
sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil untuk menjelaskan (bayan)
keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Nahl[16]:
44.
“Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Allah SWT
menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh
manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara
melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Oleh
karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an
itu bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebut lima macam fungsi, yaitu bayan
al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’.
Imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan
at-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan bayanal-isyarah.
Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan
al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhshish.[7]
Untuk lebih jelas berikut akan diuraikan beberapa hal mengenai fungsi hadis
terhadap Al-Qur’an.
1.
Bayan
at-Taqrir
Bayan al-taqrir
disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang
dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh
isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu
Umar, yang berbunyi sebagai berikut:
فَإِذَا رَأَيْـتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْـتُمُوْهُ
فَأَفْطِرُوْا (رواه مسلم)
“Apabila
kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah)
itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadis ini
datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:
“Maka barang siapa yang
mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh
[2]: 185)
Abu
Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan
istilah bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan
munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan nas al-Qur’an.[8]
2.
Bayan
at-Tafsir
Yang
dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat
yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal,
mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini
memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang
masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.
a.
Merinci
ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global)
Sebagai contoh hadis berikut:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه البخارى)
“Sholatlah
sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini
menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak
menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
“Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS.
Al-Baqoroh[2]: 43)
b.
Men-taqyid
ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq
artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan
tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan mutlaq
artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau
syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:
لاتقطع يد السارق ا في ربع دينار فصاعدا (رواه مسلم)
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada
(pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muslim)
Hadith
di atas men-taqyid ayat al-Qur’an berikut:
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah [5]: 38)
c.
Men-takhsis
ayat yang ‘am
Kata ‘am
ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak.
Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti
khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am
ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada
bagian-bagian tertentu. Mengingat
fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya
dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat
bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash,
sedang menurut ulama Hanafiah sebalikanya.[9] Sebagai contoh:
لايرث القتل من المقتول شيأ
“Pembunuh tidak berhak menerima
harta warisan.” (HR. Ahmad)
Hadith
tersebut men-takhsis keumuman firman Allah
surat an-Nisa’ ayat 44 berikut:
“Allah mensyari'atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”
3.
Bayan
at-tasyri’
Yang
dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau
ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya
(ashl) saja. Bayan ini oleh Abbas Mutawalli Hammadah dengan “zaa’id
‘ala al-kitab al-kariim” (tambahan terhadap nash al-Qur’an).
Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam
kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua
wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam
pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang
anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى
النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ
ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Bahwasanya
Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan
satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.”(HR. Muslim)
Ibnu al-
Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap
al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh
menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului
al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya. [10]
4.
Bayan
al-Nasakh
Pada
bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang
mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian
hukum Al-Qur’an dan ada yang juga yang menolaknya.
Kata nasakh
secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah
(menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah).
Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan
bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini
karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun
jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan
lagi, dan syar’i (pembuat sayari’at) menurunkan ayat tersebut tidak
diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).[11]
Diantara
para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap al-Qur’an juga
berbeda pendapat dalam macam hadith yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya.
Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama,
yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadith,
meskipun dengan hadith Ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh
para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah.
Kedua,
yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadith
tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga,
ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadith
masyhur, tanpa harus dengan hadith mutawatir. Pendapat ini dipegang
diantaranya oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu
contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul SAW dari Abu Umamah
al-Bahili, yang berbunyi:
إن الله قد اعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث (رواه أحمد
والأربعة الاالنسائ)
“Sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang hak(masing-masing), maka tidak
ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Ahmad dan al arba’ah, kecuali An-Nasaai’i)
Hadis di
atas dinilai Hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadith ini menurut mereka
menasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
“Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf....”
Keawajiban
melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat
180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadith yang menjelaskan bahwa
kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat. [12]
III.
KEMANDIRIAN SUNNAH
DALAM MENETAPKAN HUKUM
Imam
syafi`i berpendapat mengenai kedudukan sunnah: pertama, yang diturunkan
oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an sebagai sesuatu nash, maka Rasulullah SAW
melaksanakannya sebagaiman isi nash tersebut; kedua, yang diturunkan
Allah SWT didalam Al-Qur`an secara keseluruhan, maka Rasulullah SAW menjelaskan
maksud sebenarnya yang terkandung dalam firman Allah tersebut; ketiga; sesuatu
yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW tentang hal-hal yang tidak terdapat
nashnya dalam Al-Qur`an.
Untuk
kategori yang disebutkan pertama dan kedua, para ulama sepakat untuk
menerimanya, namun mereka berselisih untuk kategori yang ketiga, yaitu yang
menyangkut kemandirian sunnah dalam menetapkan
hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an. Sehingga para ulama yang
menanggapi masalah ini menjadi dua kelompok. Pertama, ulama menyetujui
semua fungsi hadis seperti yang sudah disampaikan Imam Syafi’i. Kedua,
ulama yang tidak menyetujui adanya kewenangan hadis dalam menetapkan suatu
hukum yang tidak ada nash Al-Qur’an.
Untuk
kelompok yang kedua berpendapat bahwa sunnah pada dasarnya berfungsi
sebagai penjelas (mubayyin) terhadap Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana
firman Allah SWT dalam Q.S. al-Nahl[16]: 44 sebagaima yang telah disampaikan
pada pembahasan fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.
Sementara
itu, untuk kelompok yang pertama berpandangan bahwa sunnah mempunyai
kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, meskipun tidak ada nashnya dalam
Al-Qur’an berargumentasi untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah SAW
sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Seperti
dalam QS. Al-Nisa’[4]: 80 Allah berfirman; “Barang siapa yang mentaati
Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.”[13]
Disisi
lain ada yang mengatakan : Al-Qur’an telah menunjuk kepada setiap apa yang
disebutkan dalam Hadis, baik secara global maupun terperinci. Tapi perlu
diingat bahwa Rasulullah SAW sama sekali tidak menetapkan satu sunnah pun yang
tidak terkait dengan pokoknya yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an
Allah memerintahkan ketaatan kepad Rasulullah SAW dan mengingatkan orang yang
menyalahinya. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara apa yang diterangkan Nabi
dari Al-Qur’an dan apa yang beliau perintahkan dalam sunnah beliau sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri. Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 63; “Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan tertimpa cobaan
atau terkena adzab yang pedih”. Melalui firman Allah tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa Allah menerima kekhususan kepada Nabi SAW sebagai sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh
didurhakai. Sesuatu itu adalah sunnahnya yang beliau bawa dan tidak terdapat
dalam al-Qur’an.
Serupa
dengan hal ini apa yang diperintahkan Allah kepada orang-orang mukmin, agar
mengembalikan pertikaian kepada Allah dan Rasulnya: Jika kalian berlainan
tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an dan Rasul (Sunnahnya),
jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian
(An-Nisa’:59). Mengembalikan kepada Allah artinya kembali kepada al-Qur’an.
Sedangkan kembali kepada Rasul, tidak lain artinya kecuali kembali kepada
sunnah, sesudah beliau wafat.
Tak
seorang pun di antara ahli ilmu menentang bahwa mengamalkan apa yang dibawa
oleh sunnah juga berarti mengamalkan al-Qur’an. Karena, al-Qur’anlah yang
menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Karena al-Qur’anlah yang menunjukkan
kewajiban mengamalkan sunnah. Juga karena al-Qur’an lebih umum dan Hadis lebih
khusus. Yang lebih umum dengan sifat menyeluruhnya haruslah meliputi yang lebih
khusus. Kesesuaian apa pun yang ada di antara al-Qur’an dan Hadis pada
pokok-pokonya tidaklah menghalangi sedikitpun kemandirian Hadis menetapkan
hukum-hukumnya atau penjelasannya, sampai pun dari pokok-pokok tersebut. Sebab,
Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai imam, sunnahnya sebagai penuntun, dan
petunjuk kenabiannya sebagai teladan yang baik bagi orang yang mengharap pahala
Allah dan keselamatan pada Hari Kemudian.
Sejak
dulu para ulama sudah mengatakan, dan mereka benar bahwa: “Al-Qur’an
menyisipkan satu tempat bagi sunnah. Dan sebaliknya, sunnah juga menyisihkan
satu tempat buat al-Qur’an.” Hal ini tidaklah aneh setelah kita menyimak firman
Allah: Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati
Allah. (An-Nisa’:80)[14]
IV.
PERBANDINGAN ANTARA HADIS NABAWI,
HADIS QUDSI, DAN AL-QUR’AN
1.
Hadis Qudsi
Hadis
Qudsi ialah hadis yang Rasulullah sandarkan kepada Allah SWT. Menurut
kebanyakan ulama`, sebagaimana pendapat Abul Baqa` Al `Ukbari dalam kulliatnya
halaman 288 yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya Al Qur`an itu adalah
wahyu yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu yang
terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW. Dan
ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan jalan ilham atau mimpi.[15]
Disebut hadith, karena redaksinya disusun dari Nabi
SAW sendiri, dan disebut qudsi karena Hadith ini suci dan bersih
(Ath-thaharah wa al-tanzih) dan datangnya dari zat yang Maha Suci yaitu
Allah Rabb al-‘Alamin. Sehingga ada yang menyebut Hadith Ilahiyah atau Rabbiyah.[16]
2.
Perbandingan
antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
Hadis Nabawi maupun Hadis
Qudsi memiliki kesamaan, yaitu pada dasarnya keduanya
bersumber dari wahyu Allah SWT. Hal ini, sebagaimana dijelaskan dalam
firman-Nya surat an-Nazm ayat 3 dan 4 yang berbunyi:
“(3) Dan Tiadalah
yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya (4) ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Selain
itu redaksi keduanya baik hadits nabawi maupun hadith qudsi
disusun oleh Nabi SAW. Jadi yang tertulis itu semata-mata dari ungkapan atau
kata-kata Nabi sendiri.
Adapun
yang membedakan antara Hadis Nabawi
dan Hadis Qudsi adalah; pertama, dari sudut sandarannya hadith
nabawi disandarkan kepada Nabi SAW, sedangkan hadis qudsi disandarkan
kepada Nabi SAW dan kepada Allah SAW. Dengan demikian maka dalam
mengidentifikasinya, pada hadis qudsi terdapat kataa-kata seperti:
قال رسول الله ص . م . فيما يرويه عن ربه
“Rasul SAW telah bersabda, sebagaimana yang diterima dari Tuhan-Nya.”
Atau kata-kata:
قال رسول الله ص . م . قال الله عزوجل
“Rasul SAW telah bersabda, Allah SWT
berfirman.”
Kedua, dari sudut nisbahnya hadith nabawi dinisbahkan kepada Nabi SAW
baik redaksi maupun maknanya. Sedangakan hadith qudsi maknanya
dinisbahkan kepada Allah SAW dan redaksinya kepada Nabi.
Ketiga, dari sudut kuantitasnya jumlah hadis qudsi jauh lebih sedikit daripada
hadis nabawi.
3.
Perbandingan
antara Hadis qudsi dengan al-Qur’an
Hadis
qudsi dengan Al-Qur’an keduanya memiliki persamaan bahwa sama-sama bersumber
atau datang dari Allah SWT. Maka dalam periwayatkan atau penyampaian keduanya
sama-sama memakai ungkapan, seperti قال الله عزوجل .
Adapaun perbedaan antara Hadis
Qudsi dengan al-Qur’an; pertama, al-Qur’an merupakan Mu’jizat terbesar
bagi Nabi Muhammad SAW, sedangkan hadith qudsi bukan.
Kedua, al-Qur’an redaksi dan
maknanyalangsung dari Allah SWT sedangkan hadith qudsi bukan.
Ketiga, dalam salat al-Qur’an
merupakan bacaan yang diwajibkan sehingga tidak sah salat seorang kecuali
dengan bacaan al-Qur’an. Hal ini tidak berlaku pada hadis qudsi.
Keempat, menolak al-Qur’an
merupakan perbuatan kufur, berbeda dengan penolakan hadis qudsi.
Kelima, al-Qur’an diturunkan
melalui perantaraan malaikat Jibril sedangkan hadis qudsi diberikan langsung
baik melalui ilham maupun mimpi.
Keenam, perlakuan atau sikap
seseorang terhadap al-Qur’an diatur oleh beberapa aturan, seperti keharusan
bersuci dari hadats ketika memegang dan membacanya, serta tidak boleh menyalin
ke dalam bahasa lain tanpa dituliskan aslinya. Hal ini tidak berlaku pad hadis
qudsi.[17]
Berikut
contoh hadis qudsi:
قل رسول الله ص . م . قال الله تعال إن بيوتي في
الأرض الماسجدُ وان زُوّرِي فيهاعُمَّارُها (رواه ابو نعيم)
“Rasul SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya
rumah-Ku di bumi, adalah masjid-masjid dan sesungguhnya para pengunjung-Ku
adalah orang – orang yang memakmurkannya.” (HR. Abu Nu’aim)
Adapun
yang bisa digunakan sebagai sandaran hukum dari Nabi SAW adalah segala sesuatu yang
keluar dari beliau ketika sesudah Nabi menjadi Rasul. Sebagaimana Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa khabar-khabar yang mengenai Nabi terdapat dalam kitab-kitab tafsir,
kitab-kitab sirah, kitab-kitab maghazi dan kitab-kitab hadis. Namun demikian
dikatakan kitab hadis, ialah kitab-kitab yang menyebutkan apa yang Nabi
kerjakan sesudah menerima Risalah. Hal-hal yang terjadi sebelum Risalah
bukanlah disebut untuk menjadi syariat. Yang menjadi syariat hanyalah yang nabi
kerjakan sesudah Risalah.[18]
1.
Hadis
merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan
kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila diliahat dari segi kehujjahannya,
hadis melahirkan hukum zhanny, kecuali hadis yang mutawatir.
2.
Fungsi hadis
terhadap Al-Qur’an adalah sebagai bayan al-taqrir (penjelasan memperkuat
apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an; sebagai bayan al-Tafsir (menjelaskan
dan menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an); sebagai bayan
al-tasyri’ (mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati
dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja); sebagai bayan
al-Nasakh (menghapus, menghilangkan,
dan mengganti ketentuan yang
teradapat dalam Al-Qur’an).
3.
Hadis sebagai
sumber ajaran terutama dalam kemandiriannya untuk menentukan hukum yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an para ulama’ mengalami perbedaan pendapat, ada yang
menyetujui dan dilain pihak tidak menerima kemandirian tersebut.
4.
Al Qur`an itu
adalah wahyu yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu
yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW.
Sedangkan Hadis Nabawi ma’na dan lafadhnya dari Rasulullah SAW baik dengan
ilham dari Allah maupun ijtihadnya yang muncul setelah kenabian.
5.
Sunnah Nabi
yang dapat dijadikan sumber ajaran agama adalah adalah segala yang Nabi SAW
kerjakan ketika sesudah menerima Risalah atau diutus menjadi Rasal.
[1]Mohmmmad
Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis (Semarang: Rasail Media Group, 2007), 30.
[2]Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), 173-174.
[3]Khusniati
Rofiah, Studi Ilmu Hadith (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 20.
[4]Munzier
Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008),
53-55.
[6] Ibid,
57.
[9]
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadith (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010),
26-29.
[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 63-65.
[12] Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadith (Ponorogo: STAIN PO Press,
2010), 32-33.
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 52-57.
[14]Subhi As-Shalih, Membahas Il-mu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002), 273-275.
[15] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta
: PT Bulan Bintang,
1987), 356.