Kamis, 23 Desember 2010

Cinta VS Prinsip

Jumat, 20 November 2009

Cinta VS Prinsip

Berulang-ulang kubaca secarik kertas yang ada ditanganku. Kupandangi dalam – dalam tulisan tangan itu. Secarik kertas berwarna biru yang membuat aku tersipu malu ketika membacanya. Oh... TUHAN apa yang terjadi padaku? Mungkinkah aku sedang jatuh cinta? Tapi, kepada siapa aku jatuh cinta? Atau mungkin, kepada pengirim surat yang tak bernama itu?

“Tania..., “Teriak temanku dan secepat kilat aku langsung menyembunyikan surat itu.

“Eh ... iya ada apa?”, jawabku kaget

“Ke Perpus Yuk!”pintanya

“Ayo...,”Jawabku

Siang itu perpus lagi rame. Banyak anak yang sedang baca buku. Koleksi buku di perpus selalu baru dan banyak sehingga selalu dikunjungi anak-anak yang doyan baca buku.

“Tania...,” panggil Intan

“Ya...,” jawabku singkat

“Aku ingin bertanya sesuatu, boleh nggak?” tanyanya

“Ya boleh aja, kenapa tidak? Jawabku

“Kamu dah punya pacar atau belum,” ucap Intan

“Ha..., pacar?” jawapku kaget

“Ya...,” jawabnya

“Memangnya dari wajanya dah kelihatan bahwa dalam kamus hidupku tak ada kata pacar tapi yang ada adalah seorang suami yang nantinya akan menjadi seorang bapak untuk calon anak-anakku kelak,” jelasku panjang lebar.

“Ha...!!!” jawab Intan kaget

“Udahlah... ga’ usah dipikirkan,” ayo ke kelas.

Suara bel berbunyi menandakan bahwa jam pelajarannya hari ini telah usai. Hari itu aku tak tahu kenapa hatiku berbunga-bunga. Mungkin karena surat tadi pagi. Tapi itu tak mungkin. Ah...lupakan saja tentang surat berkertas biru itu!

Suasana senja telah datang. Mega merah telah menghias langit. Matahari telah menyembunyikan dirinya di balik awan. Seruan ILLAHI telah datang mengajak manusia untuk menjalankan kewajibannya. Aku pun bergegas mengambil air wudhu dan mukena. Sejurus kemudian aku sudah sampai di masjid untuk sholat berjamaah. Seusai sholat Isya’ diadakan musyawarah pengurus masjid. Pengurusnya terdiri dari anak pondok dan anak-anak di sekitar lingkungan masjid. Dalam musyawarah tersebut akan membahas tentang PHBI (Peringatan Hari Besar Islam), tepatnya dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

Setelah Gus Sofyan menyampaikan pidatonya, kemudian beliau membacakan susunan panitia. Aku tak tahu siapa yang mengusulkan, tiba-tiba Gus Sofyan mengumumkan bahwa ketupelnya adalah Aditya Pratama dan waketupelnya Tania Dwi Permata. Oh....TUHAN...sanggupkah aku? Aditya Pratama? Siapa dia?

Setelah usai musyawarah, aku belum langsung pulang. Aku masih duduk di serambi masjid sambil merapikan mukena. Tiba-tiba aku mendengar seseorang menyapa...

“Assalamu’alaikum,” siapa oarang itu

“Wa’alaikumsalam,” jawabku spontan

“Maaf mengganggu, apa benar ini yang namanya Mbak Tania,” tanya seorang cowok berkopyah yang tadi menyapaku.

“Eh... iya benar,” jawabku sedikit kaget

“Saya Adit,” ucap dia

“Kang Aditya Pratama?” tanyaku

“Iya,” jawabnya singkat

Oh....TUHAN betapa santunnya cowok ini. Dia sangat menghormati seorang cewek. Dia hanya menunduk kita berbicara denganku dan jarang memandang lawan bicaranya. Setelah kami berbincang-bincang agak lama mengenai acara PHBI, aku pun pamit pulang.

Karena acara PHBI itulah aku sering bertemu dengan kang Adit. Mungkin benar kata pepatah Jawa “WITING TRESNA JALARAN KULINA.” Hampir tiap hari aku selalu bertemu dengannya di perpustakaan atau di masjid dan hanya membahas PHBI. Aku tak tahu kenapa aku selalu ingin mengenal dirinya lebih dalam. Apakah ini pertanda bahwa aku telah jatuh cinta? Tapi itu mungkin, karena dia adalah seorang santri. Ah...lupakan saja tentang cinta. Buktinya surat yang tempo hari menghampiriku kini tak ada lagi ceritanya. Sudah TAMAT!

“Eh...Tania, aku boleh bertanya abaout someone nggak?” tanyaku pada Intan yang juga anak pondok.

“Iya.. memangnya siapa sih yang ingin kamu tanyakan,” jawabnya.

“Kamu kenal Kang Adit nggak? Santri putra dari pondokmu,” tanyaku.

“Ooo ... Kang Aditya Pratama? Hayo ada apa tanya-tanya Kang santri segala? Dah mulai jatuh cinta ya neng?” ledeknya.

“Enggak aku pengen tahu aja, kamu tahukan gimana prinsipku,” jelasku.

“Iya-iya aku tahu, eh ... by the way Kang Adit itu adalah salah satu pengurus pondok, dia itu orangnya baik dan rajin, ta’dzim sama kyai...pokoknya komplet deh,” terang Intan tanpa diminta.

“Masak sih,” batinku dalam hati. Tambah suka nih!

Hari itu langit tak bersahabat. Sekitar jam 14.00 WIB hujan turun sangat deras. Waktu itu Tania masih berada di perpus bersama Adit. Ehm ... ehm ngapain hayo! Eh....jangan suudzan dulu. Mereka lagi bahas tentang PHBI karena kurang sebentar lagi. Mau tahu gimana ceritanya.

“Bagaimana mbak persiapannya? Sudah sejauh mana,” Adit membuka pembicaraan.

“Alhamdulillah sudah semua, tinggal ngecek beberapa kekurangan,” jawab Tania.

“Ya sudah, semoga sukses,” ucapannya.

“Amien, oh ya kalau begitu saya pamit dulu ya, Assalamu’alaikum,” pamitku.

“Wa’alaikumsalam, jawabnya.

Beberapa menit kemudian Adit pun pergi dari perpus. Tapi baru saja dia beranjak dari kursi, dia melihat ada sesuatu yang terjatuh. Sebuah lipatan kertas berwarna biru, kemudian dia mengambilnya dan tanpa disuruh dia langsung membuka dan membaca surat itu. Alangkah kagetnya dia setelah membaca tulisan itu.

“Bukankah ini tulisanku,” batinnya

“Apakah ini milik Tania?” ucapnya.

Beberapa hari kemudian,

Acara PHBI telah terlaksana dan sukses. Malam itu sekitar pukul 19.00 WIB. Adit menemui Tania. Ia ingin membicarakan sesuatu tentang kertas berwarna biru itu.

“Maaf mbak, saya cuma ingin bertanya, apakah mbak Tania kehilangan sesuatu waktu di perpus beberapa hari yang lalu,” tanyanya.

“Kehilangan? Apa ya?” jawabku bingung.

“Ini,” jawab Adit sambil menyerahkan surat berkertas biru.

“Astaghfirullah....Ini kan,,,, apa sudah kamu baca?” tanyaku.

“Sedikit, tapi kalau boleh jujur itu adalah tulisan saya,” jelasnya.

Seketika itu jantung Tania jadi berdegup kencang. Apakah selama ini pengirim surat tak bernama itu adalah Adit.

“Itu memang tulisan saya, tapi,,,,,?” ucap Adit

“Tapi apa?” tanya Tania penasaran

“Saya disuruh teman saya untuk nulis itu, “terang Adit.

“Siapa dia?” tanyaku.

“Alex,”jawabnya singkat

“Alex..., kenapa Kang Adit mau menulis ini?” tanyaku.

“Sebenarnya saya tidak mau, tapi waktu itu saya dipaksa.” terangnya

“Tentang surat ini sebenarnya saya ingin melupakannya.” Jawabku.

“Tapi bukankah mbak Tania sudah punya pacar,” tanyanya

“Pacar? Pacaran saja belum pernah, apa lagi seorang pacar!” terangku

“Lalu,” ucapnya

“Dalam kamus hidupku, aku tidak ingin pacaran sebelum nikah. Aku punya prinsip bahwa aku ingin mencari seorang bapak untuk calon anak-anakku kelak.” Jelasku panjang.

“Tapi mbak, sekali lagi saya minta maaf,” ucapnya

“Oh ga’papa,” jawabku

“Mbak Tania... jika yang nulis itu saya sendiri dan tidak disuruh Alex. Bagaimana tanggapan mbak?”, tanyanya

“Maksudnya,” tanyaku bingung.

“Ya itu atas nama saya,” jawabnya tegas

“Seandainya Kang Adit tulis surat itu 5 atau 7 tahun lagi pasti aku akan jawab ya,” terangku dengan merunduk.

“Subhanallah, baiklah mbak, tunggu aku 5 atau 7 tahun lagi, aku akan datang membawa cinta dan melamarmu,” ucap Adit.

Seketika itu Tania semakin tertunduk malu. Malam itu sangat Indah bagi Tania dan juga Adit.

Setelah peristiwa itu Tania semakin yakin dengan prinsip hidupnya. Biarlah cinta itu berkembang pada waktunya. Kerana sesuatu itu akan indah pada waktunya.

Created by

An_pus